Pengertian Mahmakah Konstitusi, Kewajiban dan Wewenang Mahmakah Konstitusi
Kewajiban dan Wewenang Mahmakah Konstitusi,
makalah,
makalah mahkamah konstitusi,
Pengertian Mahmakah Konstitusi
Edit
Mahmakah Konstitusi
BAB
I
PENDAHULUAN
Sejarah berdirinya
lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu
pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
Mahmakah Konstitusi |
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945
(Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.
B.
Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang
Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
·
Berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
·
Wajib memberi putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD 1945.
C. Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca
Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima
kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah
(i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis
Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil
Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi
Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa
lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara
Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah
Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut
namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur
dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank
Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis
dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang
sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
D.
Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan
orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3
(tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3
(tiga) orang oleh Mahkamah Agung. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga
yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim
sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan,
maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah,
berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang
meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan
Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR
setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain,
dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan
3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Mahkamah Agung.
E.
Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain
hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan
Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang.
Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah
Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang
yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas
perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah
Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara
pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan
pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai
kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu
menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara
di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya
ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan
yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu
alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang
menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak
seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat
final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak,
putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran
jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi,
maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh
karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa
kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam
kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan
kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar
urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final.
Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi,
pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua
Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan
UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme
pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang
dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai
pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun
demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung
seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah
Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan
konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin
suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut
dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai
salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai
penguji peraturan di bawah undang-undang.
F.
Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan
Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam
memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus
memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik
lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk
Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga
merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim
konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang
terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden
untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan
Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara
sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa
dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut
Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden,
dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang
diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping
itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam
hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain,
hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat
berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim
konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara
yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa
hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR;
dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden
telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan
diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon
kepada MK.
Hubungan
dengan Presiden/Pemerintah
Selain
bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu,
semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan
Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan
pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai
struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap
harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada
Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka
yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi
Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap
merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga
kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan
Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga
bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan
Mahkamah Konstitusi.
Selain itu,
Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun
pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena
perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya
ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama
serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai
ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan
kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam
kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah
mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU
tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku
dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca
Perubahan.
Susunan
Organisasi
Organisasi
Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i)
para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi
Pertama adalah para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan)
orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai
konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa
pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya
untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari
dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing
untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas
kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda,
yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3
orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang
tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden.
Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar
kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada
salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya,
Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial.
Organisasi
Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut
ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7
UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”.
Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis
administratif, sedangkan Organisasi
Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”.
Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar
administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak
tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab
sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan
masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama
mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti
memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus
untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan
dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang
finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)
mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN.
BAB
III
PENUTUP
Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945
(Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Undang-Undang
Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
·
Berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
·
Wajib memberi putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber:
makalah-mahkamah-konstitusi.html
0 Response to "Pengertian Mahmakah Konstitusi, Kewajiban dan Wewenang Mahmakah Konstitusi"
Post a Comment