Mengulik 5 Mitos di Dunia Pendidikan Indonesia Versi Kompas
Mengulik 5 Mitos di Dunia Pendidikan
Indonesia Versi Kompas
Berbicara
soal pendidikan Indonesia tidak ada pernah habisnya. Sama seperti bidang lain,
ada banyak mitos menyelimuti dunia pendidikan di Indonesia. “Salah satu cara
untuk dapat menggali permasalahan tersebut adalah menganalisis data, karena
sumber kredibel itu sangat penting. Jadi yang disampaikan adalah fakta, sesuai
dengan data”, tutur Ina Liem, pendiri Jurusanku.com dan perusahaan konsultasi
data Inadata dalam pertemuan komunitas
data science DQLab di Gedung Kompas, Kamis (23/8). Menurut data yang sudah
diolah dan dianalisis Jurusanku.com dan Inadata ada beberapa mitos menarik
seputar dunia pendidikan Indonesia:
Mengulik 5 Mitos di Dunia Pendidikan Indonesia Versi Kompas |
1. Jurusan
favorit SMA masih sama, padahal industri banyak berubah
“Setiap saya
ke sekolah-sekolah, pasti lebih banyak kelas IPA daripada kelas IPS. Kenapa
saat kuliah bisa berubah? Dari situ kami menggali data, melakukan wawancara,
dan survey ke siswa dan juga ke orangtua mereka”, jelas Ina. Faktanya, dalam
tiga tahun terakhir ini, jurusan kuliah yang menjadi favorit mahasiswa adalah
Manajemen, Kedokteran, Teknik, dan Akuntansi. Data Pendidikan Tinggi (Dikti)
menyebutkan ternyata tahun ini hanya 46% mahasiswa mengambil jurusan sains atau
IPA. Sisanya, justru 64% mahasiswa mengambil jurusan humanoria atau IPS.
2. Salah
persepsi jurusan dan karir
Masih banyak
orang tua dan siswa salah persepsi mengenai jurusan dan masa depan karir. Hasil
pengolahan data ditemukan ternyata masih banyak orang tua dan siswa salah persepsi mengenai karir dan masa depan
jurusan. Misalnya jurusan matematika. Mereka mengira kalau mengambil jurusan
matematika maka peluang karir akan sangat sempit. Padahal dari jurusan
matematika setidaknya ada lebih dari 15 lapangan pekerjaan yang dapat dijadikan
peluang. Bahkan berkarir dengan gaji fantastis seperti data scientist
membutuhkan kemampuan matematika, statistika, dan komputer. Baca juga:
Kebutuhan Profesi Pengolah Big Data Meningkat Tajam, Tertarik? Contoh lain,
saat siswa ditanya apakah Indonesia termasuk negara maritim, mereka serempak
menjawab iya. Padahal, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan,
negara yang disebut negara maritim adalah yang 40% pendapatannya diperoleh dari
hasil laut. Indonesia sendiri baru mencapai 15%. “Dari sini dapat disimpulkan
bahwa pengoptimalan potensi usaha laut masih belum maksimal. Padahal pendidikan
di jurusan kelautan bukan hanya tentang perikanan”, jelas Ina menambahkan.
Jurusanku.com
pernah melakukan pengelompokan atau profiling variabel penentu kesuksesan
dengan profesi di dunia kerja. Salah satu variabel yang diteliti adalah
kepribadian. Uniknya, setelah dilakukan penelitian ditemukan fakta ada
kecocokan kepribadian antara guru tipe A dengan sejumlah murid berprestasi.
Ternyata, kepribadian guru, cara mengajar guru, berpengaruh terhadap daya
tangkap siswa. Data juga menunjukkan bahwa tidak hanya siswa yang perlu diedukasi,
guru pun perlu mendapatkan edukasi agar dapat menghadapi kepribadian siswa yang
berbeda-beda.
4. Korelasi
kecerdasan otak kanan dan otak kiri terhadap produktivitas kerja
Ada mitos
menyatakan kecerdasan otak sangat berpengaruh terhadap kecocokan profesi kerja.
Artinya, orang yang memiliki kecerdasan otak kiri berarti pintar matematika dan
orang yang memiliki kecerdasan otak kanan berarti unggul dalam kreativitas.
Nyatanya, data juga menyebutkan belum ada korelasi antara pengaruh kecerdasan
otak dengan produktivitas bidang profesi tertentu. Banyak orang sukses dalam
profesi tertentu bukan didasarkan hanya pada hasil dominasi kecerdasan otak
kanan atau kiri saja.
5. Siswa
indonesia banyak berada di level low order thinking
Dalam dunia
pendidikan, terdapat 6 tahapan menuju critical thinking. Pendapat umum
mengatakan kebanyakan siswa Indonesia masih berada di level low order thinking,
atau level terendah. Padahal, saat ini tenaga analis terutama di bidang data
memerlukan pemikiran di tingkatan high order thinking, dimana siswa dapat
menganalisa melalui pertanyaan kritis.
Hal ini
sebenarnya telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia saat ini. Salah satu
upaya dilakukan pemerintah adalah dengan
memperbanyak soal bersifat high order thinking
(HOTS) berbentuk esai, bukan lagi pilihan ganda.
Tujuannya
agar kemampuan berpikir kritis siswa dapat dipertajam melalui soal latihan dan
ujian. Fenomena mitos pendidikan di atas diperoleh berdasarkan hasil analisis
data. Hal ini menunjukkan bahwa data tidak hanya dapat diaplikasikan di sektor
industri, tapi juga edukasi. Tren akan kebutuhan pengolahan data akan terus
meningkat dan kebutuhan akan tenaga kerja di bidang data scientist akan
bertambah di hampir semua bidang.
Sumber:
Kompas.com
0 Response to "Mengulik 5 Mitos di Dunia Pendidikan Indonesia Versi Kompas"
Post a Comment