Sejarah Perkembangan Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0
revolusi industri,
revolusi industri 4.0,
Sejarah Perkembangan Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0
Edit
Sejarah Perkembangan Revolusi
Industri 1.0 Hingga 4.0
Istilah Revolusi Industri merujuk
pada evolusi yang terjadi pada insan dalam mengerjakan prose produksinya. Pertama kali hadir di tahun 1750 an, ini lah yang
biasa dinamakan Revolusi
Industri 1.0.
Revolusi Industri 1.0 dilangsungkan periode antara tahun
1750-1850. Saattersebut terjadi evolusi secara besar-besaran di
bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta
memilikiakibat yang mendalam
terhadap situasi sosial,
ekonomi, dan kebiasaan di dunia.
Revolusi generasi 1.0 mencetuskan sejarah saat tenaga insan dan fauna digantikan
oleh kemunculan mesin. Salah satunya
ialah kemunculan mesin uap pada abad ke-18. Revolusi ini disalin oleh sejarah sukses mengerek naik perekonomian
secara mengharukan di mana sekitar dua abad sesudah Revolusi Industri terjadi penambahan rata-rata penghasilan perkapita Negara-negara
di dunia menjadi enam kali lipat.
Sejarah Perkembangan Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0 |
Revolusi Industri 2.0, pun dikenal sebagai Revolusi Teknologi ialah sebuah fase pesatnya
industrialisasi di akhir abad ke-19 dan
mula abad ke-20. Revolusi Industri 1.0 yang selesai pertengahan tahun 1800-an, diselingi oleh perlambatan
dalam penemuan makro sebelum Revolusi Industri 2.0 hadir tahun 1870.
Meskipun sejumlah ciri khas kejadiannya dapat dicari melalui inovasi sebelumnya di
bidang manufaktur, seperti penciptaan alat
mesin industri, pengembangan cara untuk penciptaan bagian suku cadang, dan
penemuan Proses Bessemer guna menghasilkan
baja, Revolusi Industri 2.0 umumnyadibuka
tahun 1870 sampai 1914, mula Perang Dunia I.
Revolusi industri generasi 2.0
ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam
(combusti on chamber). Penemuan ini
merangsang kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dll yang mengolah wajah dunia secara
signifikan.
Kemunculan teknologi digital dan
internet menandai dimualinya Revolusi Indusri 3.0. Proses revolusi industri ini bila dikaji dari teknik pandang sosiolog Inggris David
Harvey sebagai proses pemampatan ruang dan waktu. Ruang dan masa-masa seamkin terkompresi. Dan,
ini memuncak pada revolusi etape 3.0, yaitu revolusi digital. Waktu dan
ruang bukan lagi berjarak.
Revolusi kedua dengan hadirnya mobil
menciptakan waktu dan jarak kian
dekat. Revolusi 3.0 membulatkan keduanya.
Sebab itu, era digital sekarang
mengangkat sisi kekinian (real time).
Selain mengangkat kekinian, revolusi industri 3.0 mengolah pola relasi dan komunikasi masyarakat kontemporer.
Praktik bisnis pun inginkan tidakinginkan harus berubah supaya tidak tertelan zaman. Namun,
revolusi industri ketiga pun mempunyai sisi
yang pantas diwaspadai. Teknologimenciptakan pabrik-pabrik dan mesin
industri lebih memilih mesin ketimbang manusia. Apalagi mesin modern memiliki keterampilan berproduksi lebih
berlipat. Konsekuensinya, pengurangan tenaga kerjainsan tidak terelakkan. Di
samping itu, reproduksi pun
memiliki kekuatan luar biasa. Hanya dalam hitungan jam, tidak sedikit produk dihasilkan. Jauh
sekali bila dilaksanakan oleh
tenaga manusia.
Lalu Pada revolusi industri
generasi 4.0, insan telah mengejar pola barusaat disruptif teknologi
(disruptivetechnology) muncul begitu
cepat dan mengancam eksistensi perusahaan-perusahaan
incumbent. Sejarah telahmenulis bahwa
revolusi industri telah tidak sedikit menelan
korban dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa.
Lebih dari itu, pada era industri
generasi 4.0 ini, ukuran besar perusahaan tidak menjadi jaminan, tetapi kelincahan perusahaan menjadi
kunci keberhasilan meraih prestasi dengan cepat. Hal ini diperlihatkan oleh Uber yang menakut-nakuti pemain-pemain besar pada industri transportasi di semua dunia atau Airbnb yang menakut-nakuti pemain-pemain utama di
industri jasa pariwisata. Ini
memperlihatkan bahwa yang cepat
bisa memangsa yang lambat dan bukan yang besar memangsa yang kecil.
Kalau kita simaklah tahap revolusi dari masa ke mas timbul dampak dariinsan yang terus mencari
teknik termudah guna beraktifitas.
Setiap tahap memunculkan konsekuensi
pergerakan yang semakim cepat. Perubahanialah
keniscayaan dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah revolusi industri dibuka dari industri 1.0, 2.0, 3.0, sampai industri 4.0. Fase industri adalahreal change dari evolusi yang ada. Industri 1.0
ditandai dengan mekanisasi buatan untuk
menunjang efektifitas dan efisiensi
kegiatan manusia, industri 2.0 dicirikan olehbuatan massal dan standarisasi mutu, industri 3.0 ditandai dengan
penyesuaian massal dan fleksibilitas manufaktur berbasis otomasi dan robot.
Industri 4.0 selanjutnya muncul menggantikan
industri 3.0 yang ditandai dengan cyber
jasmani dan kolaborasi manufaktur (Hermann et al, 2015; Irianto, 2017).
Istilah industri 4.0 berasal dari suatu
proyek yang diprakarsai oleh pemerintah Jerman guna mempromosikan komputerisasi manufaktur.
Lee et al (2013) menjelaskan,
industri 4.0 ditandai dengan penambahan
digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: 1) penambahan volume data, kekuatan
komputasi, dan konektivitas; 2)
timbulnya analisis, kemampuan, dan kepintaran bisnis; 3) terjadinya format interaksi baru antara insan dengan mesin; dan 4) perbaikan instruksi transfer digital
ke dunia fisik, laksana robotika
dan 3D printing. Lifter dan Tschiener (2013) menambahkan, prinsip dasar
industri 4.0 ialah penggabungan
mesin, alur kerja, dan sistem, dengan
merealisasikan jaringan cerdas di sepanjang rantai dan proses buatan untuk mengendalikan satu sama beda secara mandiri.
Hermann et al (2016) menambahkan, terdapat empat desain prinsip
industri 4.0. Pertama, interkoneksi (sambungan) yaitu keterampilan mesin, perangkat, sensor, dan orang guna terhubung dan berkomunikasi satu
sama lain melewati Internet of
Things (IoT) atau Internet of People (IoP). Prinsip ini memerlukan kolaborasi, keamanan, dan standar. Kedua, transparansi
informasi merupakan keterampilan sistem
informasi untukmembuat salinan
virtual dunia jasmani dengan
memperkaya model digital dengan data sensor tergolong analisis data dan penyediaan informasi. Ketiga, pertolongan teknis yang meliputi; (a) keterampilan sistempertolongan untuk mendukung insan dengan menggabungkan dan
mengevaluasi informasi secara sadar untuk menciptakan keputusan yang tepat dan memecahkan masalah mendesak
dalam masa-masa singkat; (b) keterampilan sistem guna mendukung insan dengan melakukan
sekian banyak tugas yang tidak menyenangkan, terlampau melelahkan, atau tidak
aman; (c) meliputipertolongan visual
dan fisik. Keempat, keputusan terdesentralisasi yang merupakan keterampilan sistem jasmani maya untuk menciptakan keputusan sendiri dan
menjalankan tugas seefektif mungkin. Secara sederhana, prinsip industri 4.0 menurut keterangan dari Hermann et al
(2016) dapatdicerminkan sebagai
berikut.
Industri 4.0 telah mengenalkan teknologi buatan massal yang luwes (Kagermann et al, 2013). Mesin bakal beroperasi secara independen
atau berkoordinasi dengan insan (Sung,
2017). Industri 4.0 adalahsebuah
pendekatan guna mengontrol proses buatan dengan mengerjakan sinkronisasi
masa-masa dengan mengerjakan penyatuan
dan penyesuaianbuatan (Kohler
& Weisz, 2016). Selanjutnya, Zesulka et al (2016) menambahkan, industri 4.0 dipakai pada tiga hal yang saling berhubungan yaitu; 1) digitalisasi
dan interaksi ekonomi dengan kiat sederhanamengarah ke jaringan ekonomi dengan kiat kompleks; 2) digitalisasi produk
dan layanan; dan 3) model pasar baru. Baur dan Wee (2015) memetakan industri
4.0 dengan istilah “kompas digital” sebagai berikut.
Yang adalahinstrumen untuk perusahaan
dalam mengimplementasikan industri 4.0
supaya sesuai dengan keperluan mereka.
Pada gambar 2 komponen tenaga kerja (labor), mesti memenuhi; 1) kolaborasi insan dengan robot; 2) kontrol dan kendali jarak jauh; 3)
manajemen kinerja digital; dan 4) otomasi pengetahuan kerja. Demikian pula pada
komponen lainnya dipakai sebagai
instrumen implementasi industri 4.0.
Revolusi digital dan era disrupsi
teknologi ialah istilah beda dari industri 4.0. Disebut
revolusi digital sebab terjadinya
proliferasi komputer dan otomatisasi
pendaftaran di seluruh bidang.
Industri 4.0disebutkan era
disrupsi teknologi sebab otomatisasi
dan konektivitas disuatu bidang
akan menciptakan pergerakan
dunia industri dan kompetisi kerja
menjadi tidak linear. Salah satu ciri
khas unik dari industri 4.0ialah
pengaplikasian kecerdasan
produksi atau artificial intelligence (Tjandrawinata, 2016). Salah satu format pengaplikasian tersebut ialah pemakaian robot guna menggantikan tenaga insan sehingga lebih murah, efektif,
dan efisien.
Sumber Daya Manusia di Era
Revolusi Industri 4.0
Pola kerja secara global sudah berubah secara menyeluruh dalam masa-masa tiga puluh tahun terakhir.
Hal ini terjadi dampak adanya evolusi gelombang besar yang menyebabkan gangguan baru (a new wave
of disruption) yang ketika ini
melanda dunia. Fenomena ini dinamakan revolusi
industri 4.0 atau revolusi digital. Proses relokasi industri dari Eropah dan
Amerika mengarah ke Asia
(Indonesia, Vienam, Thailand, Pakistan, India dll) dan Amerika Latin (diwakili
oleh Brazil) dibuka sejak tahun
1970-an. Dampak relokasi industry ialah
aplikasi otomatisasi yang intensif dan masif yang merubah persyaratan kegiatan yang mempunyai sifat digital. Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak
menguasai literasi digital cepat atau lambat bakal tersingkir.
Faktor urgen lain penyebab terjadinya revolusi industry 4.0 ialah akibat pengaruh kapitalisme finansial (financial capitalism).
Thompson dan Harley (2012) didukung Lazonick (2007) mengaku bahwa kondisi bisnisketika ini telah terbit dari tatanan Knowledge Based
Economics (KBE). Dampak dari revolusi industry 4.0 ialah terbentuknya pasar yang hiperkompetitif. Berdasarkan keterangan dari Handy
(1998) pasar yang hiperkompetitif menuntut kreativitas dan inovasi, menghabiskan sumber daya finansial dan bisa mengucilkan SDM dari lingkungan industry sebab alas an efisiensi.
Dalam era kapitalisme keuangan,
laba yang diperoleh relatif
besar dengan modal kecil. Laba
didapatkan perusahaan bukan
melewati produksi barang atau jasa, namun didapatkan melalui modal fenomenologis (McKenna, 2004). Contoh
fenomenal di Indonesia ialah Gojek
dan Traveloka. Nilai tambah (added value) atau laba yang didapatkan perusahaan bukan berasal dari margin antara penghasilan vs biaya, namun didapatkan melalui self-valorizing
things laksana derivatif, hedge
fund, arbitrase, commodity atau future market (pasar berjangka), foreign
exchange market (forex), bit coin, dan sejenisnya. Bauman (1998) menyebut deviden atau kekayaan dari bisnis
semacam ini sebagai kekayaan ilusif (the illusion of wealth). Elemen urgen dari jenis bisnis ini ialah kecepatan transaksi (Roberts
& Armitage, 2006). Berdasarkan
keterangan dari Thompson dan Harley (2012), pasar finansial ini menjadi semakin terpisah atau terlepas dari ekonomi
riil (Montgomerie & Williams, 2009). Pada ketika ini, kapitalismefinansial
tidak dominan pada “ekonomi riil” di mana kegiatan bekerja secara nyata
terjadi. Kondisi bisnis ketika ini
lebih mementingkan keuntungan semua pemegang
saham (share holder value) daripada tatanan dan nilai-nilai keadilan sosial
(social values) dan ketersediaan lapangankegiatan dan upaya pengentasan kemiskinan.
Apakah industri 4.0 adalahpeluang atau ancaman ?
Dilansir, Kompas – Analisis
Ekonomi, Selasa 10 April 2018
Revolusi industri gelombang ke
empat, yang pun disebut industri
4.0,sekarang telah tiba.
Industri 4.0 ialah tren teranyar teknologi yang sedemikian
rupa canggihnya, yang dominan besar
terhadap proses buatan pada
sektor manufaktur. Teknologi modern tersebut tergolong artificial intelligence
(AI), e-commerce, big data, fintech, shared economies,sampai pemakaian robot. Istilah industri 4.0 kesatu kali diperkenalkan pada
Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi digital.
Bob Gordon dari Universitas
Northwestern, laksana dikutip
Paul Krugman (2013), menulis bahwa
sebelumnya sudah terjadi tiga
revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830).
Kedua, penemuan listrik, perangkat komunikasi,
kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet dan telepon
genggam (1960 sampai sekarang).
Versi lain mengaku bahwa
revolusi industri ke tiga dibuka 1969, melewati munculnya teknologi
informasi dan mesin otomasi.
Sebagaimana tiga revolusi
industri sebelumnya, kehadiran industri 4.0 pun diyakini akan menaikkan
produktivitas. Survei McKinsey (Maret 2017) terhadap 300 pemimpin perusahaan
terkemuka di Asia Tenggara menunjukkan, bahwa 9 dari 10 narasumber percaya terhadap efektivitas industri 4.0. Praktis nyaris tidak terdapat yang meragukannya. Namun saat ditanya apakah mereka siap mengarunginya, ternyata melulu 48 persen yang merasa siap.
Berarti, industri 4.0 masih menyisakan tanda tanya mengenai masa depannya.
Keraguan ini sejalan dengan yang
ditulis Krugman (“A New Industrial Revolution: The Rise of the Robots”, The New
York Times, 17/1/13), bahwa pengunaan mesin pintar memang dapat meningkatkan Produk Domestik
Bruto (PDB). Namun pada ketika yang
sama, urusan itu sekaligus pun dapatmeminimalisir permintaan terhadap tenaga kerja, tergolong yang pintar sekalipun.
Namun, semua urusan tersebut tidaklah bakal terjadi seketika, terdapat tahapannya. Selama proses
panjang tersebut terjadi,polemik akan terus berlangsung.
Jadi, kedatangan teknologi
digital pada pabrik-pabrik memang memberi janjipenambahan produktivitas,
walau belum pasti besar.
Studi Boston Consulting Group (September 2015) tentang akibat industri 4.0 terhadap perekonomian Jerman pada 2025, ternyata
“hanya” bakal terjadipeningkatan pertumbuhan ekonomi 1
persen sekitar lebih dari satu
dasawarsa.
Yang pun menarik disimak
merupakan, ternyata fenomena de-industrialisasi
(menurunnya persentase kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB)
yang belakangan ini terjadi di Indonesia, jugadirasakan di negara-negara maju. Penyebabnya merupakan, peran sektor jasa
(services) yang terus meningkat. Inilah
gejala yang dinamakan the
post-industrial economy (Jean-Luc Biacabe, Institute Friedland, 2016).
Kombinasi antara proyeksi perkembangan ekonomi yang tidak meningkat dengan cepat dan menurunnya
peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang kedahsyatan industri 4.0. Belum lagi bahwa industri 4.0 masih
menyisakan sisi gelapnya, yakni akibat negatifnya
terhadap pembuatan lapangan
pekerjaan. Bukan hanya itu,
majalah The Economist (6/4/18) pun prihatin
bawa era AI pun menyebabkan
hilangnya privasi seseorang dampak persebaran
data digital secara mudah. Tiada lokasi
lagi untuk data guna disembunyikan.
Satu hal telah pasti, bahwa industri 4.0 telah datang dan anda
tidak mungkin menampik atau
menghindarinya. Proses ini bakal terusberlangsung dan anda pun harus
habis-habisan menepis akibat negatifnya.
Tak terdapat lagi yang dapat menghentikannya. Lalu,
bagaimana nasib Indonesia dan semua tetangga area ?
Jeffrey Sachs Center (2017)
mencatat, bahwa lebih dari setengah
warga ASEAN yang berjumlah 629 juta orang berusia di bawah 30 tahun; di
mana 90 persennya berusia 15-24 tahun yang tak asing terhadap internet dan dunia digital. Ini adalahmodal besar ke depan yang dapat menciptakan ekstra output USD 1 triliun, sampai-sampai PDB area ini menjangkau USD 5,25 triliun pada 2025.
Organisasi Buruh Internasional
(ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja akan mengalihkan 56 persen kegiatan ke otomatisasi pada sejumlah dasawarsa mendatang.
Sedangkan 54 persen pekerja Malaysia
dalam bahaya kehilangan pekerjaan. Semuanya terlihat suram, kecuali Singapura yang sekarang penduduknya
hanya 5,6 juta orang.
Karena itu, inginkan tidak mau, antisipasi dini mesti dilakukan. Pemerintah Indonesia
pun merangkai peta jalan dan
strategi dalammenginjak era
digital, Making Indonesia 4.0, yang
dikenalkan Presiden Jokowi pada 4 April (4/4). Indonesia akan konsentrasi pada lima sektor
manufaktur unggulan: (1) industri makanan dan minuman, (2) tekstil dan pakaian,
(3) otomotif, (4) kimia, serta (5) elektronik. Pada kelimalokasi manufaktor itu berkontribusi besar terhadap PDB
serta mempunyai daya saing
internasional.
Jadi, apakah industri 4.0 adalahpeluang atau ancaman ? Tidak terdapat yang dapat meyakinkannya. Kedua karakter tersebut dapat hadir bersamaan. Semua negara,
baik maju dan berkembang, sekarang berada
pada kegalauan yang sama. Sejauh ini, mungkin melulu negara Singapura saja yang berani mengklaim akibat positifnya lebih besar.
Terlepas dari bagaimana proses ini besok akan berujung, maka antisipasiguna kian membina modal insan (human
capital) guna mengiringi laju
pembangunan infrastruktur di Indonesia, menjadi kian mengejar konteks dan prioritasnya. Industri 4.0 memang tidak
sampai mengusir seluruhpemakaian tenaga kerja. Namun melulu mereka yang berkualifikasi
tertentu yang dapat bertahan di
sektor manufaktur. Lainnya bakal diserap
sektor non-manufaktur dan sektor informal.
0 Response to "Sejarah Perkembangan Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0"
Post a Comment