Makalah Peraturan Daerah


Makalah Peraturan Daerah
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menilai bahwa Negara Indonesia ialah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tergolong dalam penyelenggaraan pemerintahan mesti menurut atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana guna mewujudkan kepandaian pemerintah dan menyerahkan legitimasi terhadap kepandaian publik paling strategis. Oleh sebab itu, pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009[1] di Bidang Hukum khususnya, antara beda ditujukan untuk mengatur kembali substansi hukum melewati peninjauan dan pengaturan kembali ketentuan perundang-undangan dengan menyimak asas umum dan hierarki ketentuan perundang-undangan serta memuliakan hak asasi manusia.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini ditunjukkan pada persoalan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi ketentuan perundang-undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat ketentuan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional ditunjukkan pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta memastikan terciptanya konsistensi seluruh ketentuan perundang-undangan pada tingkat pusat dan wilayah serta tidak berlawanan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam menyusun peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun wilayah sekaligus menata secara menyeluruh dan terpadu sistem, asas, jenis dan pelajaran muatan ketentuan perundang-undangan, persiapan,ulasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.
 
Makalah Peraturan Daerah
Sistem negara kesatuan mencerminkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) dilangsungkan secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah wilayah tetap diberi batas oleh pemerintah pusat melewati suatu sistem kontrol yang sehubungan dengan pemeliharaan kesatuan. Namun demikian, dalam sebuah negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah sebuah pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan wilayah dalam urusan ini ialah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat. Format negara kesatuan berikut yang memprovokasi karakter hubungan pusat dengan wilayah di Republik Indonesia sekitar ini. Hubungan yang terjalin tidak jarang kali dibangun dengan pengandaian bahwa daerah ialah kaki tangan pemerintah pusat.

Penyelenggaraan pemerintahan keseharian cenderung dilangsungkan secara dekonsentrasi dalam bentuk desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu wilayah tergantung untuk sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam menyerahkan keleluasaan untuk daerah. Dalam hubungan berikut pemerintah mengemban pembagian dominasi kepada pemerintah wilayah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.

Dinamika hubungan pusat dengan wilayah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dipisahkan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pengamalan pemerintahannya. Kedua sistem ini memprovokasi secara langsungpengamalan pemerintahan wilayah dalam sebuah negara. Bentuk dan susunansebuah negara berhubungan dengan pembagian kekuasaan. Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan wilayah dalam negara kesatuandiserupakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian hukum tata negara, pemerintahan yang menurut asas desentralisasi dinamakan staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan melewati wakil-wakilnya dalam batas distrik masing-masing.

Pemerintah Indonesia mengemban politik desentralisasi dan menyerahkan hak-hak otonomi untuk daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 (diperbaharui UU No. 12 Tahun 2012) mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada wilayah otonom untuk menata dan mengurus hal pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah untuk Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau untuk instansi vertikal di distrik tertentu. Indonesia sebagai negara yang luas, maka dibutuhkan sub national goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melewati berbagai format pendekatan. Pendekatan sentralisasi akan ingin membentuk unit-unit pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalammeluangkan pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah wilayah dalam meluangkan pelayanan publik. Tujuan utama desentralisasi ialah mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sebanyak kewenangan pusat dalam pembuatan kearifan di wilayah untuk menambah kapasitas teknis dan managerial.

Otonomi wilayah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diolah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 mengenai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 mengenai Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diolah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008mengenai Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah selanjutnya dinamakan UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah21 lebih berorientasi untuk masyarakat wilayah (lebihmempunyai sifat kerakyatan) daripada pemerintah daerah, dengan kata lain kewenangan wilayah otonom untuk menata dan mengurus kepentingan masyarakat setempat ialah menurut keterangan dari prakarsa sendiri menurut aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah wilayah hanya sebagaiperangkat dan fasilitator untuk menyerahkan pelayanan untuk masyarakat,mengalirkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan kemudahan kepada rakyat melewati peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

Otonomi wilayah memberikan yang seluas-luasnya kepada wilayah untukmenata dan mengurus sendiri lokasi tinggal tangga daerah, kewenanganwilayah otonom untuk menata dan mengurus kepentingan masyarakat cocok dengan ketentuan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah ialah memberikan keleluasaan kepada wilayah untuk menilai jalan hidupnya sendiri.

1.2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang sehubungan dengan makalah ini antara lain:

1. Bagaimanakah proses pembentukan ketentuan daerah?

1.3 Pembatasan Masalah
Adapun pembaasan yang dibicarakan oleh pengarang dalam makalah ini yaitumelulu dalam lingkup masalah tentang “ Peraturan Daerah”.

1.4 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud penulisan dalam makalah ini yakni sebagai di antara tugas pemenuhan kriteria dari mata kuliah Hukum Administrasi Negara.

Dalam mengerjakan penulisan makalah ini, urusan yang menjadi destinasi penulisan ialah sebagai berikut:

Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasanuntuk kami dan pembaca mengenai Peraturan Daerah.

Secara khusus, penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami mengenai pokok-pokok Peraturan Daerah.

Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian Peraturan Daerah

Sesuai dengan peraturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan daerah) ialah “peraturan perundang-undangan yangdisusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bareng Kepala Daerah”.

Definisi lain mengenai Peraturan wilayah menurut peraturan Undang- Undang mengenai Pemerintah Daerah ialah “peraturan perundang undangan yang dibentuk bareng oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam peraturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (diperbarui menjadi UU No.12 Tahun 2008)mengenai Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan wilayah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta adalahpenjabaran lebih lanjut dari ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah.

Sesuai peraturan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pelajaran muatan Peraturan daerah ialah seluruh pelajaran muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi wilayah dan tugas pembantuan dan menampung situasi khususwilayah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah bisa berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD mengucapkan rancangan Peraturan wilayah dengan pelajaran yang sama, maka yang dibahas ialah rancangan. Peraturan wilayah yang dikatakan oleh DPRD, sementara rancangan Peraturan wilayah yang dikatakan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan wilayah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diinginkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu pelajaran Peraturan daerah. Ada sekian banyak  jenis Peraturanwilayah yang diputuskan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:

1. Pajak Daerah;

2. Retribusi Daerah;

3. Tata Ruang Wilayah Daerah;

4. APBD;

5. Rencana Program Jangka

6. Menengah Daerah;

7. Perangkat Daerah;

8. Pemerintahan Desa;

9. Pengaturan umum lainnya.

2.2 Proses Penyusunan Peraturan Daerah

Dalam pengamalan otonomi daerah, pemerintah wilayah membuat sejumlahketentuan daerah. Pertaturan wilayah tersebut biasa disingkat dengan istilah perda. Perda tersebut dapat mengatur masalah administrasi, lingkungan hidup, ketertiban, pendidikan, sosial, dan lain-lain. Perdaitu pada dasarnya diciptakan untuk kepentingan masyarakat. Proses penyusunan peraturan wilayah melalui sejumlah tahap. Penyusunan peraturan wilayah dimulai dengan perumusan masalah yang akan ditata dalam perda tersebut. Masalah yang dimaksud ialah masalah-masalah sosial atau publik. Pada lazimnya masalah sosial dapat dipisahkan menjadi 2 jenis, yakni sebagai berikut.

a. Masalah sosial yang terjadi sebab adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah. Misalnya: maraknya perjudian atau beredarnya minuman keras dalam masyarakat sehingga menciptakan kehidupan masyarakat terganggu.

b. Masalah sosial yang diakibatkan karena aturan hukum yang bukan lagi proporsional dengan suasana masyarakat. Misalnya, perda mengenai retribusi pengecekan kesehatan yang paling memberatkan masyarakat kecilsampai-sampai peraturan wilayah tersebut mesti diganti. Pembuatansebuah peraturan, baik ketentuan pusat maupun ketentuan daerah, pada dasarnya nyaris sama mulai dari asas-asasnya, pelajaran muatannya dan sebagainya. Tata teknik penyusunan ketentuan daerah, antara lain:

a. Pengajuan ketentuan daerah

Proses pengusulan peraturan wilayah dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu:

1) Pengajuan peraturan wilayah dari kepala daerah.

Proses pengusulan peraturan wilayah dari kepala daerah, ialah sebagai berikut:

- Konsep rancangan perda dibentuk oleh dinas/biro/unit kerja yang sehubungan dengan perda yang bakal dibuat.

- Konsep yang telah dibentuk oleh dinas/biro/unit kerja tersebut dikemukakan kepada biro hukum untuk dicek secara teknis seperti kecocokan dengan ketentuan perundangan beda dan kesesuaian bentuk perda.

- Biro hukum mengundang dinas/biro/unit kerja yang mengemukakan rancangan perda dan unit kerja lain guna menyempurnakan konsep itu.

- Biro hukum merangkai penyempurnaan rancangan perda untuk di berikan kepada kepala wilayah guna diselenggarakan pemeriksaan (dibantu oleh sekretaris daerah).

- Konsep rancangan perda yang telah diamini kepala daerah pulang menjadi rancangan perda.

- Rancangan perda dikatakan oleh kepala wilayah kepada ketua DPRD disertai nota pendahuluan untuk mendapat  persetujuan dewan.

2) Pengajuan peraturan wilayah dari DPRD

Proses pengusulan peraturan wilayah dari DPRD ialah sebagai berikut:

- Usulan rancangan peraturan wilayah dapat dikemukakan oleh sekurang-kurangnya lima orang anggota.

- Usulan rancangan peraturan wilayah itu dikatakan kepada pimpinan DPRDlantas dibawa ke Sidang Paripurna DPRD guna dibahas.

- Pembahasan gagasan rancangan peraturan wilayah dalam sidang DPRDdilaksanakan oleh anggota DPRD dan kepala daerah.

- Pembahasan rancangan ketentuan daerah

Pembahasan rancangan peraturan wilayah melalui empat langkah pembicaraan, kecuali bilamana panitia musyawarah menilai lain. Keempat tahapan percakapan tersebut ialah :

1) Tahap kesatu

Tahap kesatu dilaksanakan dalam Sidang Paripurna. Bagi rancangan perda dari kepala wilayah penyampaian dilaksanakan oleh kepala daerah, sedangkan paparan rancangan perda dari DPRD dilaksanakan oleh pimpinan rapat campuran komisi.

2) Tahap kedua

Tahap kedua adalahtahap pemandangan umum. Bagi rancangan perda dari kepala daerah, pemandangan umum dilaksanakan oleh anggota fraksi dan kepala wilayah memberikan jawaban atas pemandangan umum tersebut. Sebaliknya, guna rancangan perda dari DPRD maka etape pemandangan umumdilaksanakan dengan teknik mendengarkan pendapat kepala wilayah dan jawaban pimpinan komisi atas pendapat kepala daerah.

3) Tahap ketiga

Tahap ketiga adalahtahap rapat komisi atau campuran komisi yang disertai oleh kepala daerah. Tahap ini dilaksanakan untuk menemukan kesepakatanmengenai rancangan perda antara kepala wilayah dan DPRD.

4) Tahap keempat (rapat paripurna)

Tahap empat mencakup pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului hal-hal inilah :

- laporan hasil percakapan tahap III,

- pendapat akhir fraksi-fraksi,

- pemberian kesempatan untuk kepala wilayah untuk mengucapkan pendapat/sambutan terhadap pemungutan keputusan.

- Rancangan peraturan wilayah yang sudah diamini DPRD lantas ditandatangani oleh kepala wilayah sehingga terbentuk ketentuan daerah.

2.3 Mekanisme Pembuatan Perda

Pembuatan Perda dilaksanakan secara bersama-sama oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan DPRD Tingkat I dan II.

Mekanisme pembuatannya ialah sebagai berikut:

1) Pertama, Pemerintah wilayah tingkat I atau II mengemukakan Rancangan Perda untuk DPRD melewati Sekretaris DPRD I atu II.

2) Kedua, Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda untuk pimpinan DPRD tingkat I atau II.

3) Ketiga, Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengantarkan Rancangan Perda tersebut untuk komisi bersangkutan.

4) Keempat, Pimpinan komisi menyusun panitia eksklusif (pansus) untukmembicarakan Rancangan Perda gagasan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.

5) Kelima, Panitia khusus menyelenggarakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-elemen yang mencakup unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai politik, LSM, ormas, OKP, figur masyarakat, dan bagian lain yang berhubungan di daerah.

6) Keenam, DPRD tingkat I atau II menyelenggarakan sidang paripurna untukmemperhatikan pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnyamemutuskan Rancangan Perda menjadi Perda.

2.4 Pembentukan Perda Yang Baik

1. Asas Pembentukan Perda

Pembentukan Perda yang baik mesti menurut pada asas pembentukanketentuan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Kejelasan tujuan, yakni bahwa masing-masing pembentukan ketentuan perundang undangan mesti memiliki tujuan yang jelas yang berkeinginan dicapai.

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu masing-masing jenisketentuan perundang-undangan mesti diciptakan oleh lembaga/pejabat pembentuk ketentuan perundang-undangan yang berwenang dan dapatdiurungkan atau batal demi hukum bila diciptakan oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. Kesesuaian antara jenis dan pelajaran muatan, yakni dalam pembentukanketentuan perundang-undangan mesti benar-benar menyimak materi muatan yang tepat dengan jenis ketentuan perundang-undangan.

d. Dapat dilaksanakan, yakni bahwa masing-masing pembentukan ketentuan perundang undangan mesti menyimak efektifitas ketentuan perundang-undangan itu di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yakni setiap ketentuan perundang undangan diciptakan karena memang benarbenar diperlukan dan berfungsi dalam menata kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan, yakni setiap ketentuan perundang-undangan mestimengisi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan opsi kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan gampang dimengerti sampai-sampai tidak menimbulkan sekian banyak  macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Keterbukaan, yakni dalam proses pembentukan ketentuan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasanmempunyai sifat transparan dan terbuka. Dengan demikian semua lapisan masyarakat mempunyai peluang seluas-luasnya untuk menyerahkan masukan dalam proses penciptaan peraturan perundang-undangan.

Di samping itu pelajaran muatan perda mesti berisi asas-asas sebagai berikut:

a) Asas pengayoman, bahwa masing-masing materi muatan perda mestibermanfaat memberikan perlindungan dalam rangka membuat ketentraman masyarakat.

b) Asas kemanusiaan, bahwa masing-masing materi muatan perda mestimenggambarkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi insan serta harkat dan martabat masing-masing warga negara dan warga indonesia secara proporsional.

c) Asas kebangsaan, bahwa masing-masing muatan perda mestimenggambarkan sifat dan watak bangsa indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap mengawal prinsip negara kesatuan republik indonesia.

d) Asas kekeluargaan, bahwa masing-masing materi muatan perda mestimencerminkanmusyawarah untuk menjangkau mufakat dalam setiap pemungutan keputusan.

e) Asas kenusantaraan, bahwa masing-masing materi muatan perda senantiasamenyimak kepentingan semua wilayah indonesia dan pelajaran muatan perda adalahbagian dari sistem hukum nasional yang menurut pancasila.

f) Asas bhinneka tunggal ika, bahwa masing-masing materi muatan perdamesti menyimak keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisiwilayah dan kebiasaan khususnya yang mencantol masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g) Asas keadilan, bahwa masing-masing materi muatan perda mestimenggambarkan keadilan secara proporsional untuk setiap penduduk negara tanpa kecuali.

h) Asas keserupaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa masing-masing materi muatan perda jangan mengandung hal-hal yang mempunyai sifat membedakan menurut latar belakang, antara beda agama, suku, ras, golongan, gender atau kedudukan sosial.

i) Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa masing-masing materi muatan perda mesti dapat memunculkan ketertiban dalam masyarakat melaluigaransi adanya kepastian hukum.

j) Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa masing-masing materi muatan perda mesti menggambarkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k) Asas lain cocok substansi perda yang bersangkutan.

Di samping asas dan pelajaran muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam memutuskan Perda mesti mempertimbangkan kelebihan lokal /daerah, sehingga memiliki daya saing dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Prinsip dalam memutuskan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ialah bertujuan untukmenambah kesejahteraan masyarakat melewati mekanisme APBD, tetapi demikian untuk menjangkau tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah tidak saja melalui mekanisme itu tetapi pun dengan menambah daya saing dengan menyimak potensi dan kelebihan lokal/daerah,menyerahkan insentif (kemudahan dalam perijinan, meminimalisir beban Pajak Daerah), sampai-sampai dunia usaha bisa tumbuh dan berkembang di daerahnya dan menyerahkan peluang menampung tenaga kerja dan menambah PDRB masyarakat daerahnya.

2.5 Mekanisme Pengawasan Perda

Dalam rangka pemberdayaan otonomi wilayah pemerintah pusat berwenangmengerjakan pembinaan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemerintahan wilayah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No.12 Tahun 2008) mengenai Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 diputuskan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005mengenai Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasandimaksudkan supaya kewenangan wilayah otonom dalam mengadakan desentralisasi tidak mengarahuntuk kedaulatan.

Di samping Pemda adalahsub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pemantauan terhadap Pemda adalahbagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka mestiberjalan cocok dengan rencana dan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas menyerahkan kewenangan untuk pemerintah pusat untukmengemban pembinaan dan pemantauan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND mengerjakan pembinaan cocok dengan kewenangan setiap yang mencakup pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pemantauan yang dikoordinasikan untuk Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat mencurahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di wilayah sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Pembinaan yang dilaksanakan oleh Gubernur terhadap ketentuan Kabupaten dan Kota diadukan kepada Presiden melewati Mendagri dengan tembusanuntuk Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen bersangkutan.

Pengawasan Kebijakan Daerah menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditata dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimanadiolah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Pengawasan dilaksanakan secara represif dengan menyerahkan kewenangan seluas-luasnya untuk Pemda untukmemutuskan Perda baik yang mempunyai sifat limitatif maupun Perda beda menurut kriteria yang diputuskan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk memutuskan Perda yangsehubungan dengan penghasilan dan memberi beban pada dunia usaha dengan tidak mengucapkan Perda dimaksud untuk Pemerintah Pusat.

Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang ditata dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diolah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005dilaksanakan secara:

a. preventif, terhadap kepandaian Pemerintah Daerah yang mencantol Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

b. represif, terhadap kepandaian berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah di samping yang mencantol Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

c. fungsional, terhadap pelaksanaan kepandaian Pemerintah Daerah;

d. pemantauan legislatif terhadap pelaksanaan kepandaian daerah;

e. pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
Mengenai jenis-jenis pemantauan dapat diuraikan inilah ini :

1. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:

a. Rancangan Perda Provinsi mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang sudah disetujui bareng DPRD dan Gubernur sebelum diputuskan oleh Gubernur sangat lambat 3 (tiga) hari Dalam Negeri guna dievaluasi.

b. Menteri Dalam Negeri mengerjakan Evaluasi Rancangan Perda Propinsimengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerahdalam masa-masa 15 (lima belas) hari sesudah menerimaRancangan Perda Provinsi.

c. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan penilaian Rancangan Perda Pajak Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sementara Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d. Menteri Dalam Negeri mengucapkan hasil penilaian kepada Gubernur untuk mengerjakan penyempurnaan Rancangan Perda cocok dengan hasil evaluasi.

e. Gubernur mengerjakan penyempurnaan bareng dengan DPRD dalam masa-masa 7 (tujuh) hari sesudah diterima hasil evaluasi.

f. Apabila Gubernur dan DPRD tidak mengerjakan penyempurnaan dan tetapmenetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat mengurungkan Perda dengan Peraturan Menteri.

g. Gubernur memutuskan rancangan Perda sesudah mendapat persetujuanbareng dari DPRD cocok dengan hasil penilaian menjadi Perda.

h. Paling lama 7 (tujuh) hari sesudah Perda ditetapkan, dikatakan kepada Menteri Dalam Negeri.

2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:

a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang sudah disetujuibareng DPRD dan Bupati/Walikota sebelum diputuskan oleh Bupati/Walikotasangat lambat 3 (tiga) hari dikatakan kepada Gubernur guna dievaluasi.

b. Gubernur mengerjakan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalammasa-masa 15 (lima belas) hari sesudah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.

c. Gubernur dalam melakukan penilaian Rancangan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sementara Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d. Gubernur mengucapkan hasil penilaian kepada Bupati/Walikota untukmengerjakan penyempurnaan Rancangan Perda cocok dengan hasil evaluasi.

e. Bupati/Walikota mengerjakan penyempurnaan bareng dengan DPRD dalammasa-masa 7 (tujuh) hari sesudah diterima hasil evaluasi.

f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak mengerjakan penyempurnaan dan tetap memutuskan menjadi Perda, Gubernur dapat mengurungkan Perda dengan Peraturan Gubernur.

g. Bupati/Walikota memutuskan rancangan Perda sesudah mendapat persetujuan bareng DPRD cocok dengan hasil penilaian menjadi Perda.

h. Paling lama 7 (tujuh) hari sesudah Perda ditetapkan, dikatakan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

3. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:

a. Perda dikatakan kepada Menteri Dalam Negeri sangat lama 7 (tujuh) hari sesudah ditetapkan.

b. Pemerintah mengerjakan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalammasa-masa 60 hari.

c. Perda yang berlawanan dengan kepentingan umum dan ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi dapat diurungkan dengan Peraturan Presiden.

d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda; Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengemukakan keberatan untuk Mahkamah Agung dalam tenggang masa-masa 180( seratus delapan puluh) hari sesudah pembatalan.

4. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilaksanakan evaluasi sebagai berikut:

a. Rancangan Perda dikatakan oleh Gubernur untuk Menteri Dalam Negerimelewati Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

b. Biro Hukum menyalurkan rancangan Perda untuk komponen berhubungan di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

c. komponen bersangkutan mengerjakan pengkajian dan penilaian rancangan rancangan Perda bareng tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen bersangkutan.

d. hasil pengkajian dan evaluasi dikatakan kepada Menteri Dalam Negerimelewati Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

e. hasil penilaian yang sudah ditandatangani Menteri Dalam Negeridikatakan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

5. Pembatalan Perda yang tidak cocok dengan hasil evaluasi:

a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum dicocokkan dengan hasil penilaian Menteri.

b. Apabila Perda yang diputuskan tidak cocok dengan hasil penilaian Menteri Dalam Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai Pembatalan Perda sesudah berkoordinasi dengan komponen berhubungan (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).

b.Apabila Perda telah cocok dengan hasil penilaian Menteri Dalam Negeridilaksanakan klarifikasi dalam jangka masa-masa 60 (enam puluh) hari.

c. Apabila hasil klarifikasi Perda berlawanan dengan kepentingan umum danketentuan perundangundangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden sesudah berkoordinasi dengan instansi berhubungan dan menyampaikan untuk Presiden melewati Menteri Sekretaris Kabinet.

d. Peraturan Presiden mengenai Pembatalan Perdadisampaikan untuk Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melewati Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

6. Perda yang telah dibatalkan: Sejak tahun 2002 hingga dengan tahun 2012 terdapat 2.079 Perda yang diurungkan yang terdiri dari:

a. Tahun 2002 sejumlah 19 (sembilan belas) Perda

b. Tahun 2003 sejumlah 105 (seratus lima) Perda

c. Tahun 2004 sejumlah 236 (dua ratus tiga puluh enam) Perda

d. Tahun 2005 sejumlah 136 (seratus tiga puluh enam) Perda

e. Tahun 2006 sejumlah 117 (seratus tujuh belas) Perda

f. Tahun 2007 sejumlah 60 (enam puluh) Perda.

g. Tahun 2008 sejumlah 229 (dua ratus dua puluh sembilan) Perda

h. Tahun 2009 sejumlah 246 (dua ratus empat puluh enam) Perda

i. Tahun 2010 sejumlah 407 (empat ratus tujuh) Perda

j. Tahun 2011 sejumlah 351 (tiga ratus lima puluh satu) Perda

k. Tahun 2012 sejumlah 173 (seratus tujuh puluh tiga) Perda

7. Pengawasan Represif Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pasal 158 ayat (1)

Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 (diperbaharui UU No.12 Tahun 2008)mengenai Pemerintah Daerah mengaku bahwa Pajak Daerah dan retribusiwilayah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di wilayah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Pasal 238 ayat (1) UU tersebut mengaku bahwa semua ketentuan perundang-undangan yangsehubungan dengan pemerintahan wilayah sepanjang belum diganti dan tidakberlawanan dengan Undang-Undang ini ditetapkan tetap berlaku. Pasal 238 ayat (2) mengaku bahwa ketentuan pelaksanaan atas Undang-Undang inidiputuskan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun semenjak Undang-Undang ini ditetapkan, yakni sampai dengan 15 Oktober 2006.

Sepanjang Undang-Undang mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru belum ditetapkan, peraturan Pasal 5A ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 mengenai Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah mengaku bahwa dalam urusan Perda berlawanan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan perundang undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat mengurungkan Perda dimaksud. Juga dalam Pasal 25 A ayat (2)mengaku bahwa dalam urusan Perda berlawanan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapatmengurungkan Perda dimaksud. Ketentuan di atas ditindak lanjuti denganperaturan Pasal 80 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001mengenai Pajak Daerah yang mengaku bahwa dalam urusan Perda mengenai pajak daerah berlawanan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri mengurungkan Perda dimaksud. Begitu pula dalamperaturan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001mengenai Retribusi Daerah yang menata bahwa dalam urusan Perda Retribusi Daerah berlawanan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan mengurungkan Perda dimaksud.

2.6 Landasan Konstitusional Peraturan Daerah

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ‘Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.’ Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,’Negara Kesatuan Indonesia dipecah atas daerah-daerah provinsi dan wilayah provinsi itu dipecah atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota tersebut mempunyai pemerintahan daerah, yangditata dengan undang-undang. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut keterangan dari UUD 1945 ialah desentralisasi, bukan sentralisasi sampai-sampai pemerintahan wilayah diadakan dalam kaitan desentralisasi.

Dalam kerangka desentralisasi menurut keterangan dari pasal 1 ayat (5) UUD 1945 Pemerintah wilayah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecualihal pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai hal Pemerintahan Pusat. Dengan kata beda dapat disebutkan bahwa format negara Indonesua ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dijalankan menurut desentralisasi, dengan otonomi yang seluas-luasnya.

Selanjutnya, Pasal 1 ayat (6) UUD 1945 menetapkan,’Pemerintahan wilayah berhak memutuskan peraturan wilayah dan peraturan-peraturan beda untukmengemban otonomi dan tugas pembantuan.’ Artinya, Peraturan Daerah (Perda) adalahsarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perda disini ialah aturan wilayah dalam makna materiil (perda in materieele zin) yang mempunyai sifat mengikat (legally binding)penduduk dan penduduk wilayah otonom.

2.7 Contoh Peraturan Daerah

Beberapa misal peraturan wilayah yang terdapat di Indonesia. Setiap pemerintah wilayah mempunyai peraturan wilayah yang berbeda-beda. Halitu disesuaikan dengan keadaan wilayah masing-masing.

a. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 mengenai Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi, “Setiap pejalan kaki yang bakal menyeberang jalan mestimemakai sarana jembatan penyeberangan (zebra cross)”.

b. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 mengenai Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan Pasal 23 Ayat (1) berbunyi, “Tempat umum, sarana kesehatan, lokasi kerja, dan lokasi yang secara spesifik sebagai lokasi proses belajar mengajar, arena pekerjaan anak, lokasi ibadah, dan angkutan umum ditetapkan sebagai area tanpa merokok. Pada Pasal 48 peraturan sanksi pada ketentuan yang samadilafalkan bahwa masing-masing orang yang melanggar bakal dikenakan hukuman denda Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.

c. Beberapa Peraturan Daerah Provinsi Bali Tahun 2000 – 2001

1) No. 001 mengenai Penetapan Upah Minimum.

2) No. 002 mengenai Penyerahan Hak Pakai/Penggunaan Barang Milik/yang dikuasai Pemprov Bali.

3) No. 003 mengenai Penetapan Juara Perlombaan Kelompencapir.

4) No. 004 mengenai Penetapan Lokasi Terminal Penumpang B.

5) No. 005 mengenai Penetapan Desa Sadar Hukum.

6) No. 009 mengenai Program Pembangunan Daerah, dan sebagainya.

d. Beberapa Peraturan Daerah Tahun 2001 Provinsi Jawa Timur

1) No. 1 mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2001

2) No. 2 mengenai Program Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur 2001 – 2005

3) No. 3 mengenai Badan Pengelola Data Elektronik Provinsi Jawa Timur

4) No. 4 mengenai Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Jawa Timur

5) No. 5 mengenai Badan Koordinasi Wilayah Provinsi Jawa Timur dan sebagainya.

6) Perda No. 14 Tahun 2004 mengenai Rencana Tata Ruang di Wilayah Kabupaten Sragen.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan daerah) ialah “peraturan perundang-undangan yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bareng Kepala Daerah”.

Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Proses penyiapan rancangan Perda yang adalahproses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam urusan ini Raperda usul inisiatif). Proses ini tergolong penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).

2. Proses menemukan persetujuan, yang adalahpembahasan di DPRD.

3. Proses pengabsahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

Mekanisme pembuatannya ialah sebagai berikut:

a. Pertama, Pemerintah wilayah tingkat I atau II mengemukakan Rancangan Perda untuk DPRD melewati Sekretaris DPRD I atu II.

b. Kedua, Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda untuk pimpinan DPRD tingkat I atau II.

c. Ketiga, Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengantarkan Rancangan Perda tersebut untuk komisi bersangkutan.

d. Keempat, Pimpinan komisi menyusun panitia eksklusif (pansus) untukmembicarakan Rancangan Perda gagasan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.

e. Kelima, Panitia khusus menyelenggarakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-elemen yang mencakup unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai politik, LSM, ormas, OKP, figur masyarakat, dan bagian lain yang berhubungan di daerah.

f. Keenam, DPRD tingkat I atau II menyelenggarakan sidang paripurna untukmemperhatikan pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnyamemutuskan Rancangan Perda menjadi Perda.

Asas Pembentukan Perda yang baik mesti menurut pada asas pembentukanketentuan perundang-undangan antara lain: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, Kesesuaian antara jenis dan pelajaran muatan, Dapat dilaksanakan, Kedayagunaan dan kehasilgunaan, Kejelasan rumusan, Keterbukaan.

Di samping itu pelajaran muatan Perda mesti berisi asas-asas antara lain: Asas pengayoman, Asas kemanusiaan, Asas Kebangsaan, Asas kekeluargaan, Asas kenusantaraan, Asas bhineka tunggal ika, Asas keadilan, Asas keserupaan dalam hukum dan pemerintahan, Asas ketertiban dan kepastian hukum, Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, Asas laincocok substansi Perda yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,200), hlm. 5

Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978, hlm.150-151.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 198, hlm. 52

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Peraturan Daerah"

Post a Comment