Terdapat Pesan Pendidikan di Balik ke Viralan Afi di dunia maya
Terdapat Pesan
Pendidikan di Balik ke Viralan Afi di dunia maya
MEMBACA
perkembangan kasus Afi, baik di media massa maupun dunia maya memberikan banyak
lompatan emosi yang mengejutkan.
Awalnya, putri
bangsa bernama lengkap Asa Firda Inayah (Afi) atau yang lebih populer dengan
nama Afi Nihayah Faradisa menjadi viral di media sosial, dan bahkan dunia nyata
karena tulisan-tulisannya yang mengagumkan.
Dalam
statusnya di laman Facebook, Afi kerap menulis pesan-pesan mengenai keberagaman,
keharmonisan, dan kasih sayang.
Terdapat Pesan Pendidikan di Balik ke Viralan Afi di dunia maya |
Harus jujur, ada rasa bangga sekaligus haru bahwa dalam usia kronologis yang belum menginjak dewasa, Afi dapat mengemukakan pandangan yang inspiratif dan mencerahkan.
Secara konten,
tulisan Afi memang menakjubkan.
Tentunya, hal
itu bukan muncul serta-merta sebab ia berkisah tentang kebiasaan membaca yang
mampu memberikan ragam perspektif tentang kebijaksanaan.
Sampai di
sini, kita perlu merasa bangga sebab tak banyak remaja yang mampu 'berpuasa'
dari hiruk pikuk kesenangan, dan bahkan mampu mengendalikan dirinya dalam
aktivitas yang sarat akan budaya intelektual.
Terlebih jika
kita selami, latar budaya keluarga Afi bukanlah dari keluarga yang high class.
Dari berbagai
warta, kita tahu bahwa ayah Afi bekerja sebagai pedagang cilok, sedangkan
ibundanya menderita sakit.
Di atas
kondisi yang mengharuskan ketegaran tumbuh, Afi berusaha melakukan penyesuaian
diri adaptif dengan rajin membaca.
Tak hanya itu,
ia juga mencoba menuliskan pemikirannya yang merupakan hasil dialog antara
teks-teks yang ia baca dan pikiran-pikiran idealnya sebagai remaja.
Hasilnya?
Tulisannya banyak menuai pujian. Akan tetapi, mutakhir kita dientakkan oleh
kabar yang menduga bahwa tulisan-tulisan Afi merupakan plagiat.
Dalam
memandang kasus ini, kita perlu menerapkan asas praduga tak bersalah, terlebih
jika kita jujur mengakui bahwa usia Afi masih sangat belia.
Lagi pula,
kita tidak tahu apakah tuduhan plagiat tersebut merupakan ekspresi kebencian
dari pihak lain atau bukan.
Maka, yang
perlu kita pahami sekarang bukan pada benar atau salahnya Afi, akan tetapi mari
melihat bahwa fenomena Afi pada dasarnya memberikan pelajaran dan pesan penting
bagi dunia pendidikan Indonesia.
Sosok Afi,
melalui tulisan-tulisannya yang viral memberikan pesan inspirasi bahwa hobi
membaca dapat menyelamatkan anak bangsa dari sikap-sikap negatif.
Hobi membaca
juga dapat mengasah kecerdasan berbahasa dan kepiawaian merangkai kata.
Hal ini
menarik karena hobi membaca dapat mengantarkan remaja untuk sampai pada alam
kedewasaan dengan lebih cepat.
Membaca
karya-karya inspiratif dari orang-orang hebat membuat diri mampu menyerap
banyak ilmu dari beragam perspektif yang berbeda.
Hobi merupakan
hal yang penting dan bukan perkara remeh.
Dengan hobi,
anak tumbuh menjadi remaja dan mendewasa dengan aktivitas positif yang penuh
makna.
Hobi dapat
mengarahkan seseorang tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Hobi yang
positif mengarahkan seorang anak untuk tidak melewatkan waktunya dengan
aktivitas negatif.
Sampai di
sini, kita begitu rindu akan adanya sebuah gerakan kolektif, yakni anak-anak
mencintai dan memiliki hobi membaca buku sebagaimana Afi.
Ya,
sesungguhnya kini kita sedang dibuat kagum oleh adanya fakta bahwa masih ada
remaja yang memiliki hobi membaca dan sudah mulai mengepakkan sayap-sayap
kalimatnya menjadi tarian yang indah dan 'menyihir' banyak orang untuk bergerak
bersama dengan harmonis dan damai.
Kebiasaan
membaca buku pada dasarnya dapat mengantarkan seseorang menjadi seorang penulis
yang inspiratif.
Terlebih, jika
terbiasa membaca sejak kecil, berbagai tulisan yang dibaca sebetulnya tidak
pernah hilang dari ingatan.
Jika toh kita
merasa lupa, itu hanya sekadar perasaan semata.
Apa yang kita
baca sesungguhnya menjadi deposito pemahaman yang suatu saat dapat membuahkan
pemikiran cemerlang.
Maka, bukan
hal yang tidak mungkin jika Afi--di usianya yang masih sangat belia--mampu
merangkai kata yang menakjubkan.
Kebiasaan
membaca berbagai karya membuatnya memiliki tabungan kosakata dan rangkaian pemikiran
yang memberikan pesan bernuansa bijak.
Melihat
generasi muda gemar membaca, semestinya para pendidik dan orang tua tak
membiarkannya tumbuh tanpa perhatian.
Justru jika
ada generasi muda yang menunjukkan hobi dan minat positif, guru dan orang tua
sebaiknya 'hadir' untuk memberikan apresiasi, dukungan, dan motivasi.
Pendidik perlu
merawat kebiasaan membaca dan menunjukkan jalan menulis yang dapat membawa pada
pencapaian-pencapaian intelektual.
Siswa perlu
mendapatkan keterampilan menulis dan mengemukakan pendapatnya secara terbuka,
santun, dan elegan.
Guru pun
seharusnya memberikan arahan dan menyajikan medan menulis bagi siswa.
Ada banyak
kompetisi menulis, ladang menulis bagi siswa, dan medan-medan kepenulisan
lainnya yang legal, bernuansa kompetitif, dan pada muaranya memberikan
pendidikan bagi siswa mengenai cara menulis yang tak hanya indah dan
inspiratif, tetapi juga etis.
Guru perlu
mengajarkan pada siswa bagaimana cara menulis yang benar, menyalin sebuah
kutipan, dan menyajikannya dalam sebuah tulisan yang nyaman dibaca.
Agar guru
dapat melakukannya dengan baik, kita memang membutuhkan guru yang terampil
menulis.
Saat ini, para
siswa yang merupakan generasi harapan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang
membaca 'instan.'
Bukan lagi
buku yang mereka baca, melainkan status laman Facebook dan atau media sosial
lainnya. Padahal, pada umumnya status di Facebook tidak ditulis para expert,
tetapi siapa saja yang eksis di dunia maya.
Alhasil, yang
berada di alam bawah sadar generasi kita ialah kata-kata dan rangkaian kalimat
yang sering berisi ujaran kebencian, kemarahan, da kosakata berenergi negatif.
Di sisi lain,
remaja belum memiliki filter yang cukup selektif dalam memilih status yang
tepat untuk dijadikan acuan dalam bersikap.
Hasilnya?
Media sosial sering kali menjadi ranah menyampaikan ujaran kebencian, caci
maki, dan kata-kata buruk lainnya.
Dunia
pendidikan memang perlu berbenah dan terus belajar untuk menjadi lebih baik.
Guru perlu
merawat tradisi membaca beragam teks inspiratif dengan berbagai metode yang
menarik bagi siswa.
Alangkah lebih
menakjubkan jika guru mampu membingkai hobi membaca dan menulis pada diri para
siswa melalui kegiatan belajar dan mengajar.
Bagaimanapun
juga keterampilan menulis bukanlah abrakadabra.
Pikiran dan
mental kita memerlukan waktu dan latihan untuk dapat melahirkan tulisan yang
baik, inspiratif, dan menyejukkan.
Kita harus
membuka mata, bahwa banyak peluang menulis bagi siswa yang dapat dijadikan
sarana melatih keterampilan menulis.
Ada banyak
kompetisi yang diadakan berbagai pihak, dan jelas hal ini mengandung reward
untuk putra-putri negeri.
Di sinilah
pendidikan kita harus hadir.
Pendidikan
Indonesia perlu untuk menciptakan penulis-penulis muda yang lahir dari rahim
'gemar membaca.' Untuk menciptakan penulis muda, guru perlu mengasah
keterampilan menulis.
Sejak masa
kanak-kanak hingga remaja, seorang anak memerlukan pengalaman sebagai pijakan
diri untuk melakukan lompatan.
Anak yang
berprestasi umumnya tak pernah tumbuh dari ruang hampa.
Jika orang tua
merawat hobi anak dan memberikan wahana berlaga, anak-anak akan memberikan
performansi terbaiknya. Banyak tokoh ternama yang berhasil merintis karier dan
karya menakjubkan melalui hobi di masa kecil.
Energi hobi
dan minat kita terhadap sesuatu akan cenderung menjadi prestasi jika dirawat
dengan baik.
Pendidikan
kita perlu mengawal hobi positif para siswa.
Ini merupakan
poin penting sebab dengan hobi, seorang siswa akan menekuni aktivitasnya.
Alhasil, ia
pun akan memiliki aktivitas yang menjurus pada hobi sehingga tidak terjerumus
ke dalam aktivitas negatif, apalagi terperosok ke dalam hobi yang menyesatkan.
Sayangnya,
banyak dari kita yang belum merasa sadar dan menilai bahwa hobi bukanlah hal
yang penting.
Bahkan,
anak-anak yang memiliki hobi di luar belajar materi pelajaran banyak menuai
kritikan pedas.
Melalui Viral
Afi, kita banyak belajar bahwa segenap elemen bangsa perlu memberikan perhatian
dan apresiasi terhadap hobi yang positif sekaligus mengarahkannya dengan
bijaksana.
Selanjutnya,
ketika anak dan remaja tak sengaja melakukan kesalahan, kita sebagai orang yang
lebih dewasa tak perlu buru-buru menghakiminya.
Sering kali,
kesalahan yang mereka lakukan tulus dan lahir dari rahim ketidaktahuan.
Tidak
bijaksana, jika kita mudah menghakimi dan menyalahkan. Jangan sampai kritikan
kita membuat sayapnya patah dan enggan mengudara.
Mari,
bijaksana mengawal anak-anak dan remaja untuk tumbuh di atas hobi yang positif
sehingga mereka dapat memberikan karya yang menakjubkan untuk bangsa.
Kita perlu
menjaga hobi dan minat anak-anak negeri dengan cara menjaga lisan dari ujaran
negatif yang menyakitkan hati.
Ada banyak
diksi dan pilihan kata yang bisa kita pilih untuk membuat putra-putri bangsa
agar cakap belajar dari kesalahan, bukannya terhenti langkah karena melakukan
kekhilafan.
Dunia
pendidikan kita wajib senantiasa berbenah untuk menjemput masa depan gemilang.
Sumber: mediaindonesia.com
0 Response to "Terdapat Pesan Pendidikan di Balik ke Viralan Afi di dunia maya"
Post a Comment